NATAL YANG TERBUKA
Gerbang “Natal” akan segera dibuka. Ed Husain, dalam karyanya The Islamist: Why I Joined Radical Islam in Britain, what I saw inside and wh I left, London, 2007 yang diterjemahkan oleh Rh. Widada dengan judul Pengakuan Pejuang Khilafah dan diterbitkan oleh Penerbit Gading, Yogyakarta, 2017, melukiskan suasana ‘natal’-nya dengan cara yang amat khas: ”Hari kelahiranku, sebuah hari istimewa di rumah kami, bertepatan dengan hari Natal. Ibuku biasa mengajak kami melihat Santa Klaus setiap tahun setelah perayaan Natal di sekolah. Kami membuat manusia salju di kebun, lalu mengalunginya dengan syal ibu”.
Natal menjadi sebuah titian untuk menjauhkan restriksi (pembatasan-pembatasan) antara ‘aku’ dan ‘engkau’ yang berbeda. Ed Husain melanjutkan: “Berseberangan dengan rumah masa kanak-kanak kami di Limehouse, rumah berteras gaya Victoria yang berlantai tiga, berdirilah gereja Katolik Lady Immaculate yang berdempetan dengan sebuah biara. Kami bersahabat dengan para suster; mobil kami diparkir di samping susteran setiap malam. Kami membantu-bantu dalam kegiatan pasar murah aneka macam barang yang diadakan Gereja setiap tahun. Tidak pernah ada ketegangan apa pun dalam masalah agama, tidak ada kebencian antara orang-orang yang berbeda keimanan”. Merenungkan natalnya Ed Husain, saya teringat akan kisah-kisah inspiratif dari Tanah Flores NTT. Di beberapa komunitas di Flores, saat perayaan Natal, tak jarang ada umat muslim yang tampil dan bertindak sebagai panitia Natal bersama. Mereka menyiapkan segala sesuatunya untuk saudara-saudaranya dari kristen-katolik usai gereja. Jika tibanya Hari Raya Idul Fitri, umat kristianilah yang bertindak sebagai panitia halalbihalal untuk saling bersalam-salaman dan memafaatkan satu sama lain. Mereka duduk bersama, minum bersama, makan bersama dan bercengkrama bersama-sama. Di Flores, perayaan-perayaan keagamaan termasuk natal menjadi sebuah momen ‘merekatkan’ kepelbagaian yang beraneka. Saya kira, di dalam momen-momen seperti ini, para penganut agama dan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa saling ‘belajar’ mengenal dan memaham satu sama lain. Mengikuti kerangka berpikir Philip Huggins, Uskup Gereja Anglikan Australia, boleh dikatakan bahwa di momen natal ataupun perayaan-perayaan keagamaan lainnya yang melibatkan ‘aku’ dan ‘engkau’ yang berbeda, ‘aku’ dan ‘engkau’ dari tradisi agama-agama yang berbeda selalu bisa mengajarkan sesuatu yang berharga termasuk bagi tradisi-tradisi kita sendiri. Sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh pengajaran ini adalah menyambut setiap kesempatan untuk mendengarkan dan berbicara dengan orang lain tentang perjuangan mereka untuk berusaha hidup dengan kebenaran tertinggi yang mereka ketahui. Pertemuan-pertemuan dan kesempatan informal lainnya memungkinkan untuk menumbuhkan dan menikmati persahabatan dengan orang-orang dari tradisi dan budaya keagamaan lainnya. Kesempatan untuk mendapatkan perspektif lain tersebut dicapai melalui persahabatan sejati. Persahabatan sejati dibangun di atas dasar kesaling-akraban menuju Allah yang akbar meski melalui jalan yang berbeda-beda. Persahabatan sejati mengarahkan setiap sahabat ke tujuan yang sama meski dengan cara yang khas dan unik menurut masing-masing agama. Kemanusiaan universal, kehendak baik dan kepentingan bersama dapat membangun pemahaman dan keharmonisan saat pertemanan dimulai dan berkelanjutan. Kebersamaan yang kesepahaman ini bisa menepis prasangka-prasangka buruk satu terhadap yang lain, baik pribadi orang perorangan dan hubungan satu dengan yang lain maupun struktur-struktur sosial kemasyarakatan sekaligus memupuskan harapan berkembangnya stereotip dari masing-masing unsur itu yang bisa menghanguskan kemanusiaan universal. Kerja sama agama-agama untuk perdamaian dan keadilan tidak dilaksanakan dengan cara membungkamkan dan mengaburkan tradisi iman seseorang. Sebaliknya, melalui kerja sama ini keimanan seseorang menjadi makin bertumbuh dan mendalam. Seorang Muslim harus menjadi semakin Muslim, seorang Kristen harus menjadi semakin Kristen, dan seterusnya. Ada pluralitas dalam setiap dialog antaragama, namun mitra dialog perlu memiliki kejelasan posisi mengenai apa yang mereka yakini. Refleksi-refleksi teologis tentang natal bermuara pada titik ini: yang tidak terbatas rela menjadi terbatas, yang Maha Tinggi rela turun ke dunia. Yang tidak berdosa rela dijadikan manusia yang menanggung dosa umatNya. Dan, itulah Kristus. Natal berarti Kristus. Inilah inti iman natal. Di hari natal, umat kristiani merayakan kehadiran Yesus Kristus ke dalam dunia, bukan sekedar merayakan hari natalnya. Natal bukanlah industri melainkan kristologi. Dia menjadi saat di mana Allah membuka diri dan mengambil bagian dalam kehidupan manusia. Allah yang Akbar menjadi Allah yang Akrab. Sesama manusia yang memiliki harkat dan martabat yang mulia adalah juga sesama manusia yang tak terbebaskan dari keakraban sejati. Di titik inilah, natal adalah milik kita semua. Mari, kita jadikan natal kita tahun ini menjadi natal yang bercahaya di antara ‘aku’ dan ‘engkau’ yang berbeda. Inilah sebuah natal yang terbuka, natal yang inklusif, natalnya “aku dan engkau” yang berbeda!*
Oleh: Anselmus D Atasoge, Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende